Jumat, 07 Oktober 2011

Cerpen Satu


 Hati tak bisa berbohong. Begitu banyak orang bicara.

 Tak terkecuali Suimin.

            Suimin tahu jika hatinya tak dapat ia bohongi seperti dirinya yang selalu berbohong pada orang lain. Berbuat curang. Adalah suatu hal yang biasa baginya. Tak ada rasa sesal seujung kuku-pun nampak dari wajahnya yang sembraut itu. 

            Padahal ia tahu hukum. Padahal ia tahu norma yang berlaku. Padahal ia tahu hati sucinya tak menyetujui perbuatannya itu. Tapi tetap saja ia dengan senang hati, terus berbuat curang seperti itu.

            Pagi hari Suimin bersiap menjajakan jajanan buatannya ke SD yang biasa jadi tempat tongkrongannya. Di depan pintu gerbang sekolah Suimin bersabar menunggu ada anak SD yang membeli dagangannya. Di depan pintu gerbang sekolah Suimin bersenda gurau dengan sesama penjaja makanan ringan yang lain. Untuk mengusir sepi.

             Akhirnya rejeki itu datang juga.

            “Mang beli batagornya satu bungkus, ya?” Suimin memperhatikan anak itu. Dan tersenyum.

            “Siap. Pake sambel nggak?” anak itu menggeleng.

            Karena memang sudah keahliannya menjual batagor, maka Suimin tak perlu membuat anak itu menunggu lama untuk mendapatkan batagor pesanannya tadi. Sejenak setelah mendapatkan batagornya, sang anak tersenyum dan berterima kasih. Suimin membalasnya dengan sebuah senyuman.

            Tak tahulah anak itu jika makanan yang ia beli itu adalah makanan yang tidak sehat. Makanan yang sudah selayaknya diberikan kepada kucing kampung borokan. Bukan pada anak kecil tak berdosa tadi. Tak tahulah anak itu jika saus kacang yang menjadi teman batagor itu dibuat dari kacang yang sudah layak masuk tong sampah. Ditambah perasa pedas yang tidak sehat, dan ditambah pewarna tekstil yang membahayakan. Tak tahulah anak itu, jika batagor yang ia makan itu dibuat dari tahu yang sudah busuk. Ikan yang sudah busuk. Dan ditambah boraks yang bisa bikin kenyal. Tak tahulah anak itu, jika sebulan kemudian ia terkena diare dan mungkin, mati.

            Hanya Suimin yang tahu apa yang akan terjadi pada anak itu. Hanya Suimin yang tahu jika dagangannya itu lebih layak diberikan kepada penjahat hukuman mati. Hanya Suimin yang paham apa yang ia perbuat. Tapi nyatanya, Suimin malah tertawa kembali bersama teman-temannya. Dan yang membuat heran, adalah mengapa ia masih sempat bersyukur kepada Tuhan.

            “Min, laris daganganmu ya?” tegur Tejo. Teman Suimin.

            “Sip, lah. Alhamdullilah.”  setelah mengucapkan rasa syukurnya itu Suimin kembali bersenda gurau bersama teman-temannya. Dan sekali lagi, tak nampak seujung kuku-pun rasa bersalah keluar dari wajah kusamnya.

            Tak tahukah ia, jika ucapan syukurnya itu mungkin takkan digubris oleh Tuhan? Karena Tuhan hanya menerima ucapan syukur dari para hambanya yang menghayati makna kejujuran. Jikalau Tuhan masih memberikannya sesuap nasi untuk hidup, bukan berarti Tuhan tak menghukum orang seperti Suimin. Jikalau Tuhan memberikannya umur yang panjang, bukan berarti Tuhan sengaja membiarkan kejahatan merajalela. Itu semua hanya salah satu bentuk kasih sayang-Nya kepada seluruh makhluknya yang tanpa pandang bulu!